Jual: Alat Pemadam Api Ringan (APAR), Tabung Pemadam

7 Free Lessons from the Teachers of The Secret

Monday, November 23, 2009

"IRONI SANG PEMIMPI"

Tak seorangpun kuungkapkan niatku untuk mengejar mimpiku. Aku memendam dalam-dalam keinginan ini selama 12 tahun sejak SD sampai SMEA. Aku terinspirasi oleh dua orang pamanku. Om Jahar yang sedang kuliah, telah men-trigger cakrawala berpikir dan nafsu belajarku. Selanjutnya Om Syarif yang duluan bekerja di Jakarta.

Diam-diam aku mengagumi mereka dalam fantasiku. Disela-sela kecerian bermain dan belajar, aku sering mengirimi mereka surat, sekedar untuk bertutur sapa sekaligus mengingatkan mereka bahwa masih ada anak muda kampung nelayan, keponakannya yang akan mengikuti jejak mereka.

Setelah menyelesaikan sekolah di SMEA Negeri Bima, keinginan yang telah lama kuimpikan  “eksodus” dari kampungku ini  tak tertahankan lagi. Dan harapan memuncak dalam benakku. Namun aku masih merahasiakannya.  Dan bagiku, penantian selama 2 bulan memikirkan cara keluar kampung menjadi saat-saat paling mendebarkan. Puncaknya ketika Om Mardin pamanku yang telah lama tinggal di Jakarta, bersilaturrahim ke kampung, menjadi moment istimewa bagiku. Titik kulminasi energi positif, terkumpulnya keinginan kuat mengambil peluang membebaskan diri dari lingkungan tradisional, kemudian menjelajah titik puncak kreativitas belajar.

Baru saja Om Mardin menginjakkan kakinya dan belum sempat duduk di rumahku, akupun melontarkan ungkapan yang tegas dan penuh semangat.
"Om, aku mau ikut Om ke Jakarta". bisikku disela-sela keramaian keluargaku menyambutnya. Mamaku kaget bukan kepalang. Tak menyangka aku berani punya niat seperti itu, ditambah Om-ku baru saja sampai.

Memang beliau merisaukan aku akan segera menyusul teman-temanku yang lain untuk pergi ke laut, menjadi nelayan. Sungguh tak sedikitpun terlintas dibenakku. Aku ngeri membayangkan kulit dan wajahku hitam terbakar sinar matahari, melayang-layang sampai muntah-muntah diterjang ombak, mengurusi Bagang ketika siang hari dan siap-siap bertenaga kuda sepanjang malam mengawasi ikan dan menggiling jaring. Sungguh tidak adil bagiku yang susah payah jalan kaki sejauh 5 km selama 3 tahun ketika pulang sekolah diwaktu SMP.

Aku tidak ingin bekerja seperti ayahku, seperti teman-teman kecilku. Dukungan penuh menyekolahkanku, ketrampilan seni musik dan pelajaran moral darinya rasanya cukup menjadi kado istimewa menghujam dilubuk hatiku. Jauh sebelum Ary Ginanjar Agustian mengumandangkan konsep IQ, EQ dan SQ beberapa tahun terakhir, ayahku telah mengajariku konsep ini puluhan tahun yang lalu sejak usiaku masih kecil sampai Gunung Sangiang meletus ditahun 1985. 

Masih dalam suasana perayaan ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, aku menginjakkan kaki di Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1994 dan memulai segalanya dari awal untuk kehidupan baru. Kehidupan yang jauh dari keramahan suasana kampung halaman, jauh dari mama, adik-adik, menuntutku untuk mampu beradaptasi, merubah pola pikir dan pembawaan mental. menjelajah wilayah baru seperti kaum nomaden. Dengan dibimbing oleh orang tua angkat yang kepeduliannya tidak diragukan lagi, sampailah aku menjadi bagian dari sistem ibukota.
Sesuai dengan target awal, mendapatkan Kartu Tanda Penduduk. Namun Musiman. Om-ku mengurusinya.
"Aneh sekali", batinku.
KTP-ku musiman, hanya untuk 1 tahun, sedangkan aku telah menetapkan niat dalam-dalam ingin hidup di Jakarta selamanya.

Dengan sedikit proses interview, kudapatkan pekerjaan pertama disebuah perusahaan Percetakan di Daerah Muara Karang, dekat dengan rumah Om-ku. 
"Anda akan saya tempatkan sebagai Operator Telepon" tegas Pak Muchtar, Bos pemilik perusahaan mengambil keputusan. "Karena Anda bisa Bahasa Inggris" tambahnya. Perasaanku tak terlukiskan. Namun ia lupa mengatakan, "karena Anda tinggal di Muara Angke, dekat dari sini", batinku. Karena selang sebulan, bukannya gaji pertama saja yang kuterima tapi sekaligus gaji terakhir di perusahaan ini.
Oleh karena masih terbawa mental kampung dan belum mengenal tehnik komunikasi yang baik, akibatnya fatal. Aku diberhentikan karena ada telepon pelanggan menanyakan salah satu karyawan bagian marketing dan kujawab "Tidak Ada". Polos tanpa berbohong. Namun sial, disaat bersamaan Pak Muchtar melintas disampingku baru saja beranjak dari kursi tinggi dan besarnya. Kenapa kujawab tidak ada ? karena kulihat Pak A Hong tidak ada ditempat duduknya.
Jadi, konflik batin pertama sekaligus pelajaran pertama ditempat kerja juga keanehan kedua bagiku di Jakarta adalah aturan jangan pernah berkata "tidak ada" walaupun orangnya tidak ada ditempat duduknya, sampaikan "sedang tidak di tempat" atau "sedang keluar kantor".

Hanya berselang beberapa saat, kumulai lagi dari awal mencari pekerjaan.  Kedua kalinya, aku mendapatkan pekerjaan di perusahaan kontraktor yang menjadi tempat perubahan pola pikir dan kesadaranku tentang dunia akademik dan bisnis. Namun proses mendapatkan pekerjaan ditempat ini menarik untuk kukenang.

Waktu itu, setelah "diberhentikan dengan tidak hormat", aku berkeliling melamar dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Hari itu rasanya capek sekali sampai "seragam" putih hitamku basah oleh keringat. Hari sudah sore. Aku berniat ingin pulang ke rumah om-ku dengan naik bus kota. Sepanjang jalan aku merenung dan sekali-sekali memperhatikan jalan. Pak Supir mengendarai busnya kencang sekali dan berhenti puluhan kali untuk menaik-turunkan penumpang. Sepertinya "Jam Sewa" dan "Setoran" sudah lebih merasuki otaknya daripada  keselamatan dan kenyamanan penumpang. Setelah sadar, bus kota yang kunaiki bukannya Patas P37 jurusan Blok M - Muara Angke, bus ini masuk pintu tol yang megah dan asing bagiku. Itu artinya tidak ke Muara Angke. Rupanya aku salah naik bus. Hampir saja aku nyasar ke  Tangerang atau bisa-bisa ke Merak di ujung pulau Jawa sana, karena setelah mendekat pintu tol tersebut kubaca "Pintu Tol Kebon Jeruk".

Aku kebingungan. Bukan hanya karena Gapura Tol ini begitu megah, ramai dan asing bagiku, namun juga lembaran yang kukasih ke kondektur tadi adalah lembaran terakhir dikantongku. Akhirnya akupun mencari tumpangan setelah menanyakan arah ke Muara Angke. Sekian lama aku  memperhatikan dan  menunggu kedatangan wajah-wajah supir truk yang ramah dan tersenyum di gerbang ini. Namun sulit diharapkan senyuman dari mereka ketika jalan sedang ramai-ramainya di sore begini atau mungkin sudah menjadi karakter mereka yang hidup dijalanan. Bagi Supir, survey lembaga internasional yang menyatakan Rakyat Indonesia menempati urutan pertama negara paling banyak tersenyum, tidak berlaku bagi mereka. Tidak akan terlihat senyuman kebanggan bangsa Indonesia yang  telah dicontohkan dengan gagah perkasa oleh salah satu pemimpin bangsa ini. Kebanyakan mereka tampil dengan gagah dan sangar seperti penampilan truk yang dikemudikannya, seakan ingin menerkam kendaraan lain. Namun aku bergumam "tidak mungkin tidak ada yang baik hati dan ramah diantara Supir Truk yang melintas ini". Seperti kuduga, akhirnya datang sebuah truk biru Cold Diesel Hino yang sudah Reot. Pengemudinya, dari jarak 20 meter tidak pernah memalingkan wajahnya dariku. Ia sepanjang jarak itu selalu tersenyum. Aku membatin, ini dia mahluk yang punya hati. Datanglah terus mendekat. Ia tetap tersenyum. Semakin ia mendekat, semakin kencang detuk jantungku, semakin deras mengalir seluruh darahku, mengumpulkan energi untuk membuka mulut. Disaat tepat didepan kasir Pintu Tol, aku yang dari tadi menutup mulut sedang ia tak pernah sekalipun menutup mulut, terus tersenyum hingga semakin dekat, semakin jelas garis-garis giginya yang tampak menguning, dengan kumis tebal tak teratur. ia dengan senyuman yang seakan memberi harapan supaya aku segera cepat-cepat bicara atau segera naik. Belum sempat kutanya, ia duluan yang tanya, mungkin takut di klakson mobil dibelakangnya.
"Mau kemana ?" sambutnya. "Muara Angke Pak" sahutku cepat. Iapun tak berpikir panjang.
"Ayo Naik" pintanya masih dengan senyum yang selalu menonjolkan gigi kuningnya.. Segera saja aku berlari ke pintu samping truk tuanya. Dan meluncur melewati jalan layang yang sangat tinggi yang sempat kukagumi beberapa waktu yang lalu saat pertama kali tiba di Jakarta. Kearah Muara Angke, niat awal ia ingin mengantarku. Namun setelah berbincang-bincang disepanjang jalan, ia membelokkan mobilnya.

"Disini, kamu kerja bantu-bantu karyawan" ujarnya sebelum memarkir kendaraan didepan sebuah kantor yang cukup besar dan tinggi, tanpa memperhatikan aku yang sejak tadi sepanjang jalan bergumam dengan rasa penasaran.

Bapak ini terlihat cukup baik dan seakan mengerti perasaanku. Maka, diperkenalkanlah aku kepada atasannya yang bernama Pak Eko yang awalnya, kuperhatikan selalu hilir mudik tapi besoknya selalu diam ditempat berbicara di telepon sepanjang hari tanpa berhenti tersenyum. Rupanya, ia bolak balik sambil tersenyum karena sudah saatnya pulang kerja. Penampilan bapak muda ini, sama seperti Pak Jamal, sang sopir baik hati tadi. Sama-sama berkumis namun usianya jauh lebih muda. Masih terlihat energik dan penuh semangat. Kesamaan yang kedua dengan Pak Jamal adalah sama-sama memiliki senyum yang tak henti. Saat duduk, saat jalan, saat berbincang selalu tersenyum. Dan bisa dipastikan, saat di toilet masih tersenyum, sendiri. Maka iapun tanpa prosedur rumit memintaku datang lagi esok pagi untuk mulai kerja. Cepat dan Kilat. Hanya satu pertanyaannya.
"Kamu asli mana ?", dengan cepat kujawab "Bima Pak". masih dengan senyum yang terus mengambang sambil menepuk bahuku, iapun pamit pulang kepada rekan kerja yang lain,  dan hari-hari selanjutnya aku disuguhi kebaikan dan keramahan serta senyuman Pak Eko ini selama 3 tahun aku bekerja membantunya.

Aku jadi berteman dekat dengan Antony, Mas Buang, Agus dan Dony. Oh.. Ini dia awalnya.
Nama yang terakhir ini adalah temanku yang sangat special.

 ==========@@@@@@@@@@@@@==========

Kopami yang kunaiki dari Muara Angke melaju dengan kecepatan sedang. Sang Kenek terlihat bolak balik mengawasi kendaraan yang sama dibelakangnya agar tidak tersalip. Matanya liar hilir mudik sibuk mencari penumpang dari arah depan sambil melirik ke belakang. Semakin lama, semakin mendekat. Ia lalu tancap gas bagaikan cecak yang ingin ditangkap didinding.
Tidak sulit aku menandai lokasi kantor tempat kerja keduaku ini. 
Gedung kantor ini berdiri megah ditengah komplek perkantoran. Ia tergabung dari dua unit Ruko yang telah direnovasi. Menjulang tinggi 4 lantai dan melebar. Disamping kanan kirinya berdiri Ruko biasa kantor lain yang kontras dengan arsitek kantor kami. Satu-satunya yang menyaingi kantor kami di komplek itu berdiri 1 gedung yang dibangun dari 3 unit Ruko yang telah direnovasi seperti kantor kami menjulang tinggi dan gagah persis didepan. Dan di hari pertama itu aku menandai lokasi kantorku dari jauh dengan patokan sebuah Apartemen Modern kelas atas yang terdiri dari 4 unit Tower yang gagah perkasa dengan masing-masing ketinggian 50 lantai.
Hari itu, aku datang pagi-pagi sekali sesuai arahan Pak Jamal. Inilah hari pertama yang mengesankan.
Dari jauh, aku menunggu pintu kantor dibuka sambil sesekali melirik. Tepat pukul 07.00 suara pagar besi yang berbentuk siku-siku itu menggema bagaikan mercon dalam pesta. Didepan pintu, berdiri seorang anak muda berambut ikal dan berbadan besar. Kulitnya hitam, matanya sipit. Ia mengenakan celana Levi's kumal dan berlutut sobek. Keanehan pertama dihari pertama di kantor baruku ini. Ia tidak tampak sama sekali sebagai orang kantor. Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya kebelakang seperti orang sedang pemanasan olah raga. Sesaat kuperhatikan ia  mengambil sebuah barbel, mengangkat-angkat beberapa kali hingga menonjolkan kekekaran otot tangannya. Badannya  yang besar tidak menunjukkan sama sekali ia berbadan atletis. Ia terlihat olehku hanyalah seorang yang kelebihan berat badan karena nafsu makan yang tinggi tanpa punya beban pikiran karena bodoh dan malas.
Sorot matanya tajam. Namun bentuk wajahnya manis dan bersih walau hitam mengkilap. Sebuah wajah bersahabat. Akhirnya kuberanikan diri mendekat. Ia masih sibuk mengangkat barbelnya. Tak dihiraukan aku yang berdiri mematung canggung. Suasana masih sepi, karyawan lain belum juga ada yang datang. Sesaat kemudian ia melirikku dan mendekatiku.
"Mau melamar ?" aku tersentak sadar dari lamunan.
"Oh, nggak. Mau kerja" jawabku canggung.
"Udah diterima ? Kapan ?" tanyanya sekaligus.
"Kemarin sore" sahutku mulai berani.
"Wah, selamat" sambil menjulurkan tangannya tanda welcome padaku. Namun aku dibuat kaget lagi untuk kesekian kalinya karena ia menjabat tanganku dengan keras sekali sambil digerak-gerakkan dari atas kebawah berkali-kali. Rupanya anak ini mulai menyukaiku, atau memang ia agak sedikit aneh ?. Menyebut namanya saja dua kali.
"Kenalkan, Aku Doni.. Dooni" ujarnya memanjangkan dan mengeraskan intonasi suaranya. Tangannya keras menggenggam tangan kurusku. Kusebut dengan datar namaku sambil tersenyum.

Selang beberapa saat,.muncul lagi dari dalam seorang tinggi kurus berambut panjang dan berpakaian rapi. Aku tersentak kaget. Heran untuk kedua kalinya. Kok ada karyawan boleh pelihara gaya kuno rambut panjang seperti George Rudy dijamannya. Dan keanehan bertambah, kok yang datang kerja dari dalam kantor, bukannya dari luar kantor.

Ia ganteng, berkulit sawo matang dan ia terlihat seperti orang intelek, tidak seperti temannya yang berambut kribo tadi yang masih mengangkat barbel mengumbar otot-otot tangannya seperti selebriti dalam fitness center atau seperti atlet dalam gymnasium. Mereka saling menyapa, dan ketika menoleh kekanan, mereka sama-sama memperhatikanku.
Doni memperkenalkanku pada teman gondrongnya. "Kenalin, Ini namanya Anwar, Ton. Karyawan baru MAU" (MAU dibaca Em, A, U. Singkatan dari nama perusahaan di lantai 2).
Ia menyebut namanya Antony. berbasa basi denganku. Namun satu hal yang kuperhatikan, ganteng ganteng ia memiliki logat Jawa yang sangat kental. Dan setelah itu, aku berteman baik dengan keduanya.





Akhirnya aku memperoleh bekal yang cukup untuk berani menerima tantangan sehingga ketika “keluar” dari perusahaan ini aku telah menjadi pribadi yang “welcome” dan “open mind”, siap menerima cakrawala pengetahuan yang lebih luas dan menapaki dunia akademik yang menjadi tolak ukur kebangkitan kognitif.

No comments:

Adsense

Powered By Blogger
 
Changing LINKS