Jual: Alat Pemadam Api Ringan (APAR), Tabung Pemadam

7 Free Lessons from the Teachers of The Secret

Saturday, April 12, 2008

Global Religious Life Concept

“AN INTEGRATED LIFE STYLE”
ANWAR ARIFIN

FOREWORD

“REFLEKSI AKAN TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN”

Ada sesuatu yang hilang kusadari dalam memahami esensi hidup.
Ada realitas yang menakjubkan. Ada banyak pelajaran.
Semua mengarah bersama konsep yang telah digariskan sasarannya, maknanya….

Setiap individu memiliki cara-cara tersendiri dalam mentransformasikan buah pikiran dan kesadarannya akan berbagai aspek kehidupan. Pola pikir yang ditimbulkan hasil dari kreatifitas belajar merupakan akumulasi nilai-nilai kesadaran akan berbagai fenomena kehidupan yang tentu saja berimplikasi pada tingkat kedewasaannya sehingga pada waktunya mampu melahirkan seorang pribadi yang memiliki kwalitas dengan berbagai kelebihannya, mampu memahami hakekat dirinya dan dengan strategi kepemimpinan dirinya mampu menghadapi segala tantangan hidup.
Problematika hidup yang mengiringi langkah pencapaian tujuan bermakna, harus disikapi dengan modal konsep hidup yang terarah dan integral-komprehensif, mampu membimbing diri dengan nilai-nilai positif budaya global dan agama.
Peradaban yang mengarah pada pengeksploitasian sumber daya intelektual dan cenderung mengabaikan nilai-nilai agama menuntut seorang individu untuk mampu memposisikan dirinya. Dalam perkembangannya, seorang akan mencapai tingkat kwalitas baik dari sisi keagamaan maupun sisi perkembangan jaman jika mampu menyerap nilai-nilai kehidupan dengan pola pikir yang luas, mampu menghadapi berbagai macam pilihan.
Betapa eksistensi setiap individu pada akhirnya akan pasti terbawa pada cakrawala pencerahan yang nyata. Aku sadari bahwa setiap orang itu harus jadi pemimpin, dimulai dari memimpin dirinya sendiri sampai pada memimpin orang lain baik dengan pendekatan pribadi maupun communal approach yang bersifat integral-komprehensif.
Banyak hal-hal yang harus dijalani dengan apa adanya menurut sikap dan pikiranku, namun dibalik itu, kesadaran ini muncul dengan caranya yang unik. Sebuah entitas perjalanan hidup yang telah digariskan untuk kujalani sebagai implikasi dari kesadaran pribadi akan makna penting eksistensi diri dan manifestasi dari kecintaan-Nya, sehingga harus kujawab apa itu Tanggung Jawab dan Kewajiban.
Problematika hidup mampu menggiringku melewati tahap kesadaran yang tinggi akan makna penting kekuatan berpikir bahwa setiap detik kehidupan itu tak satupun yang luput dari makna pemahaman dan pelajaran.
Diusia yang relatif muda ini, telah banyak yang kudapati dari dinamika hidup, namun itu semua diawali dengan modal kepribadian dan pikiran yang selalu konsisten dan optimistik. Memang semua input-input yang masuk selalu menjadi buih-buih kekuatan yang secara perlahan mampu membentuk satu pribadi yang kaya konsep pemikiran dan kesadaran ditambah dengan nilai-nilai moralitas yang tinggi, lama saya peroleh dari orang-orang yang mengasihi saya sejak pertama kali dilahirkan untuk memahami “janji-janji tersembunyi”.


Fenomena keterpurukan nilai-nilai moralitas bagi sebagian orang saat ini, merupakan konsekuensi dari tidak teraktualisasikannya jiwa-jiwa kepemimpinan dalam diri, sehingga memperkuat input-input negatif yang masuk dalam interaksinya dengan lingkungan pemikiran yang tidak terarah dan cenderung mundur (set-back) untuk membentuk suatu nilai-nilai yang menghancurkan (destruktif).
Maka ketika kesadaran itu aku peroleh, memang diakui ada “lost period” dalam memahami tanggung jawab pribadi, tapi aku pikir semua orang mengalaminya sebagai langkah awal membentuk karakter pribadi yang mampu memberi warna tersendiri dalam menyikapi fenomena pengeksploitasian nilai-nilai budaya barat yang tidak menarik lagi sekarang ini, sekaligus sebagai upaya untuk tidak menunjukkan sikap superioritas  karena aku masih berada pada jalur yang sama dan tetap konsisten memegang komitmen untuk perlahan-lahan membentuk seorang “great personal” hingga akhirnya nanti menjadi insan kamil dalam lingkungan pribadi, keluarga dan masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai potensi diri yang konseptual, bersama membangun kejayaan keluarga dan masyarakat dengan ideologi dan pemikiran global-religius.
Setiap jaman selalu saja memiliki dan melahirkan tokoh dan sejarahnya sendiri, maka kenapa kita tidak melahirkan tokoh untuk diri kita ?. Kita tahu bahwa sejarah itu pasti berulang dan tidak perlu repot melahirkannya karena sejarah adalah entitas waktu dan akan selalu bersama kita sebagai manifestasi dari “janji-janji tersembunyi”. Yang perlu dilahirkan hanyalah seorang tokoh dan itu dapat direalisasikan bagi diri kita yang mampu memahami eksistensinya dengan beragam fenomena subyek keinginan (will-sence).
Maka mewujudkannya harus dimulai dengan pola hidup kesederhanaan (simple life style) yang tidak meremehkan potensi daya intelektual, kekuatan emosional dan kekuatan spiritual dan memiliki keinginan kuat (strong willingness) mengaplikasikan seluruh konsep pemikiran yang telah didapat sejak dimulainya kesadaran kekosongan jiwa (Zero Mind Proccess) yang telah menerima input pengetahuan baru (fully fresh brain drained).
Komitmen yang kuat akan pencarian sumber daya yang ada dalam diri yang terkonsep pada ketiga potensi tersebut diatas, akan mendukung tercapainya segala keinginan yang terencana dalam hal memahami kondisi kehidupan dalam alam globalisasi yang materialistis dan konsumtif walau dengan beragam tantangan yang ada karena ketiga potensi ini memiliki daya covering dalam menghadapi segala macam tantangan menuju kesempurnaan yang terletak pada konsep itu sendiri.
Analogi ini sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan kekuatan pikiran dalam berbagai aspek kehidupan yang mengarah pada pemahaman bahwa segala sesuatu tidak terjadi dengan sendirinya tapi akan selalu menikmati hasil dari dirinya. Inilah realitas tersembunyi.
Pola kesederhanaan hidup tercermin pada kemampuan memahami diri dan mendikte serta memberikan doktrin teradap lingkungan dan orang orang terkasih akan makna perwujudan nilai nilai positif dari hal yang terkecil sekalipun disetiap tempat dan waktu dimana kita “exist”. Dengan pendekatan konsep emosional kita berkorban untuk mampu memposisikan diri kita menjadi bagian dari apa yang ditargetkan (bargaining position) sebagai counter balance (penyeimbang) untuk tidak mengedepankan unsur superiritas. Ini sangat penting diaktualisasikan agar setiap usaha penyadaran berjalan dengan optimal karena telah banyak pelajaran kegagalan dari tidak dijalankannya hal ini.
Kebebasan mengekspresikan diri harus ditunjang oleh pemahaman nilai-nilai psikologis, semakin paham seseorang menilai dirinya sendiri maka akan bisa ia memahami orang lain sehingga dalam batas ini kita diharuskan bertindak secara dualisme yang pihak sebagai diri kita “apa adanya” dilain pihak diri kita “harusnya”. Dengan tetap mempertahankan harmonisasi antar keduanya agar apa yang kita inginkan dapat terakomodir. Ini semua adalah pelajaran sederhana namun memang harus terlebih dahulu dipresentasikan dalam praktek yang nyata.
Bagi seorang yang telah memiliki pemahaman akan hal ini memang persoalannya akan lain manakala kesadaran waktu yang hilang (lost period) baru didapat saat justru diasaat tereksposnya seluruh konsep secara umum sementara memulai dan mempraktekkannya kembali hal-hal yang telah menjadi pengalaman dan kesiapan upaya konkrit untuk masa mendatang, butuh persiapan kedisiplinan yang tinggi. Jadi akan terasa lebih elegan bila kita memulainya bersama sesuai tingkat proporsi masing-masing dalam kondisi yuang benar-menar siap dan pemahaman telah matang sambil terus berusaha kearah peningkatan yang lebih baik.
Telah banyak contoh-contoh praktis pemahaman nilai-nilai positif untuk dipraktekkan dalam keseharian. Tergantung daya pikir kita memanfaatkan momentum diasaat tertentu untuk merefkleksi diri sambil terus melangkahkan kaki menatap sekeliling sebagai proses belajar menuju pemantapan diri.
Kebiasaan mengekploitasi nilai-nilai positif sangat dipengaruhi oleh proses pemahaman tanggung jawab pribadi karena kebiasaan (habit) itu tanpa sadar mampu “menghipnotis” akal sehat untuk selalu terbawa dan sadar melakukan penyempurnaan. Kebiasaan itu sedikit demi sedikit memperkuat dirinya hingga menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya.
Diri kita sendiri harus menjadi “causa prima” (penyebab utama) atas berbagai hal baik dalam skala kecil maupun besar dalam mengimplementasikan seluruh konsep. Dan menurut saya harus dimulai dari kesadaran yang tinggi akan nilai nilai kedisiplinan (high value discipline consciousness).
Strategi pemantapan nilai-nilai kedisiplinan harus dapat diukur (meazurable) dalam tingkatan awalnya dimulai dari rumah (baca: tempat tinggal, home) karena disinilah ukuran kebiasaan seseorang dapat diketahui dari cara (manner) pembawaan personalitas sampai pada strategi pemikiran akan hal-hal yang terkecil sekalipun untuk kemudian menemukan solusi praktis dalam keseharian tanpa mengorbankan nilai-nilai moralitas. Dalam skala besar kita dapat mengaplikasikan kedisiplinan dalam dunia profesionalisme tercermin pada tingkat kreatifitas mengembangkan dan mempertahankan daya pikir akan konsep diri secara komprehensif terhadap berbagai aspek dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Kedisiplinan merealisasikan konsep dalam skala kecil salah saunya tercermin pada cara kita membuang jauh jauh sikap yang menunda nunda apa yang harusnya dilaksanakan, telah banyak kehilangan kebahagiaan karena hal ini, telah banyak pelajaran kegagalan.
Kwalitas konsep hidup dalam memahami tanggung jawab dan kewajiban pribadi baru akan benar benar mantap (fix) jika kita mampu menerapkannya dalam bentuk yang real (nyata) dalam hidup keseharian. Dan karena konsep itu sendiri berintegrasi mengabarkan hakekat dan realitas hidup maka praktek yang nyata sebagai refleksi dari esensi konsep yang memiliki analogi-analogi yang jelas, harus dapat diketahui dan dijalankan sesuai dengan asas ideologi dari konsep itu sendiri karena merupakan bagiannya yang menjadi dasar sekaligus daya covering sehingga memperkuat ditegaskannya disiplin yang bersifat religius sebagai langkah awal penerapan kesadaran, dalam hal ini, analoginya yang jelah adalah syariat agama dan itu salah satunya adalah SHALAT.
Shalat menjadi titik awal (start point) yang revolusioner sifatnya untuk menilai ukuran tingkat kedisiplinan penerapan dan pemahaman konsep secara komprehensif, karena dalam shalat terdapat beragama aspek pengetahuan dan makna yang saling memiliki korelasi yang tak terduga dan mencengangkan. Dan karena shalat adalah penyembahan (worship) maka ia juga sekaligus harapan (expectation) (baca: doa) hingga dalam batas ini bermakna memiliki daya lindung (covering) sebagai jaminan bagi kita untuk merasa damai dan tenang sebagaimana makna dasar prinsip ideologis yang dianut.
Akan menjadi persoalan apabila kesadaran menjalankan nilai-nilai religius dianggap sebagai proses keinginan yang baik (good will) saja yang bersifat himbauan atau saran (notice). Ini sungguh tidaklah dibenarkan karena kewajiban dan tanggung jawab nilai nilai religius hadir secara absolut memberikan petunjuk dan pencerahan yang nyata sebagai lokus dari adanya “janji-janji tersembunyi”.
Oleh karena itu, Shalat haruslah berdiri kokoh memopang sekaligus memperkuat segala esensi konsep, mengabarkan hakekat, memberi ketenangan (serenity) dalam melangkahkan kaki, menuju sasaran yang bermakna.

Kemudian Ia memberinya bentuk (dengan perbandingan ukuran yang baik), dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-nya. Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan (perasaan) hati….”(Q.S. 32 Surat As Sajdah (Sujud) Ayat 9)

Thursday, April 10, 2008

AGAMA

"AGAMA"

Sesungguhnya dalam kehidupan kita sehari-hari hendaknya jangan sampai mengabaikan kewajiban kita dalam kehidupan beragama. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah. Dibalik kebebasan manusia dalam memanfaatkan kehidupan alam ini terdapat berbagai ketentuan dari Allah supaya kita tetap sadar dan tidak terbawa oleh nafsu duniawi, Allah menuntut kita untuk mengerti dan menjalankan kewajiban kita.
Setiap langkah pembaharuan sentana dari pemikir-pemikir umat islam sendiri yang ingin mengabaikan kewajiban dan ingin mencocok-cocokan dengan kehidupan modern melalui westernisasi dalam makna yang bertumpu pada akal semata hanya akan membawa malapetaka yang tidak kecil artinya. Lebih dari itu sesungguhnya mereka telah jauh berpisah dari ajaran islam murni, karenanya modernisasi pasti gagal dalam mendekati segala aspek kehidupan kita kalau tidak dimbangi dengan menjalankan kewajiban agama agar tetap terjaga kemurnian agama dari kemungkinan berbagai pandangan hiduo dan praktek yang menyeSatkan.
Dibalik semua arti kewajiban kita, sesungguhnya terdapat perangkat nilai untuk menyelesaikan dan menjawab beraneka ragam problema yang senantiasa timbul. Kehidupan harus dipaksa agar mengikuti garis kewajiban dengan segala artinya.
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan mantap kepada agama, menurut fitrah Allah yang telah menciptakan fitrah itu pada manusia. Tiada dapat diubah (hukum-hukum) ciptaan Allah. Itulah agama yang benar, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya"(Q.S. 30 Surat Ar Ruum Ayat 30)

FILSAFAT

"FILSAFAT"

Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah kebintang-bintang, dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi atau seorang yang berdiri dipuncak tinggi memandang kengarai dan lembah dibawahnya, dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang di tatapnya. Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah universal, seorang tidak puas lagi dengan ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri, dia hanya ingin melihat ilmu dan konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tau kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama, dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
Kita sering melihat orang yang berilmu yang picik, memandang rendah pengetahuan lainnya, meremehkan moral, agama dan estetika. Mereka sebenarnya suatu saat akan sadar dan tercengang bila bertengadah ke bintang-bintang yang ternyata masih ada langit lain di luar tempurung kita, kitapun lalu menyadari kebodohan kita, Socrates mengatakan “bahwa saya tidak tahu apa-apa”. Kerendahan hati Socrates bukanlah verbalisme yang sekedar basa-basi. Kita harus membongkar tempat berpijak secara fundamentak yang merupakan karakter berpikir filsafat yang kedua yaitu sifat mendasar.
Memang kita menyadari secara terus terang tidak mungkin menangguk pengetahuan secara keseluruhan dan bahkan kita tidak yakin pada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Dalam hal ini kita hanya berspekulasi dan inilah yang menjadi cirri filsafat yang ketiga yaitu spekulatif. Sekarang kita sadar bahwa semua pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi sehingga kita dapat memilki buah pemikiran yang dapat diandalkan yang juga merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa mengembangkan tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang diatas dasar kebenaran dan tanpa menetapkan apa itu baik dan buruk maka tidak mungkin bicara tentang moral, demikian juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak mungkib kita berbicara tentang kesenian.
Tiadalah kamu lihat, bahwa Allah menundukkan bagimu segala yang ada di langit, dan segala yang ada di bumi, dan melimpahkan atasmu nikmat-Nya, yang nampak maupun yang tidak nampak? Namun diantara manusia, ada orang yang bertengkar tentang Allah tanpa pengetahuan, tanpa bimbingan, dan tanpa Kitab yang memberi pegangan!(Q.S. 31 Surat Luqman Ayat 20)

Adsense

Powered By Blogger
 
Changing LINKS